Selasa, 07 Oktober 2008

Satu Kesaksian Pribadi Oleh Daoed Joesoef

Kompas, Selasa, 7 Oktober 2008 00:47 WIB
Satu Kesaksian Pribadi
Oleh Daoed Joesoef

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No 3 Tahun 1950, yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman, bukan atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX maupun warga. Sultan dan warganya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI tanpa pamrih.

Sultan Hamengku Buwono (HB) IX adalah sultan pertama yang mendukung proklamasi kemerdekaan. Kesultanan yang dipimpin merupakan bagian konstitutif NKRI. Hal serupa juga dimaklumatkan Sultan Siak Sri Indrapura (Sumatera Tengah) beberapa hari kemudian.

Kebajikan Sultan Yogya juga ditunjukkan dengan terus melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI. Di saat-saat krusial, tanpa diminta, Sultan menunjukkan sikap tidak defaitis, misalnya, saat Belanda melakukan aksi militer pertama (Juli-Agustus 47), kedua (19 Desember 48), dan saat PKI memberontak dari Madiun (18 September 48).

Revolusi fisik

Selama revolusi fisik (1946-1949) saya ber-SMA di Yogya, menggabungkan diri pada Tentara Pelajar (TP) Bat. 300. Dalam aksi militer Belanda pertama, pelajar-anggota TP menuju garis depan. Saat berangkat, Sultan-selaku Gubernur Militer-melepas. Sebelumnya, Sultan menerima alamat orangtua anggota TP dari luar Jawa untuk disimpan. Sesudah cease-fire saya kembali ke Yogya, menemui Sultan untuk mengambil alamat orangtua saya, dan alamat orangtua dua teman yang gugur. Saya katakan kepada Sultan, saya sendiri akan mengabarkan berita duka itu bila hubungan pos Jawa-Sumatera sudah pulih karena kami dari Medan.

Dalam aksi militer kedua, Belanda menduduki Yogya. Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa petinggi lain ditawan, tetapi Sultan tidak. Ketika pimpinan militer Belanda ingin menghadap ke keraton, Sultan menolak. Kalau Belanda nekat masuk keraton, mereka harus melangkahi mayat Sultan lebih dulu. Intelijen Belanda tahu, keraton menjadi tempat bertemu dan berlindung gerilyawan. Dari keraton, Sultan memantau situasi melalui radio.

Setelah tiga kali ditangkap dan ditahan Belanda, saya berhasil lari dan meninggalkan Yogya, apalagi pondokan saya digeledah. Dengan beberapa "pelajar seberang", saya menempuh long march ke Jakarta. Yogya tidak lagi memungkinkan perantau mencari nafkah guna membiayai hidup dan sekolah. Sepanjang perjalanan Yogya-Salatiga, penduduk di desa-desa selalu menanyakan keadaan Sultan. Melihat kenyataan ini, kami yakin, seandainya Sultan menyerah dan menerima kedatangan Belanda, saat itu riwayat RI pasti tamat. Minimal, negara tak lagi merdeka, beralih menjadi dominion atau negara boneka.

Selama revolusi fisik, Yogyakarta menjadi ibu kota RI. Saat itu Yogyakarta dipenuhi pengungsi dari berbagai penjuru, pejabat, pegawai sipil, dan militer, laskar perjuangan, warga biasa dan pelajar yang jumlahnya mungkin sama dengan warga asli Yogyakarta. Meski demikian wong Yogya tidak pernah mengeluh jika harus berbagi makanan, fasilitas umum dan ruang, bersedia sama-sama menderita, meneladani sikap rajanya yang tanpa pamrih menawarkan bagian depan keraton, termasuk siti hinggil untuk pendidikan. Pagi untuk SMA, sore hari untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Manusia idealis

Tanggal 1 Agustus 1973, sepulang dari Paris untuk studi selama sembilan tahun, Bung Hatta mengundang saya ke rumahnya. Pada malam itu, di ruang tamu sudah ada Sultan, yang saat itu menjabat wakil presiden.

Saat itu Bung Hatta menanyai visi saya tentang pendidikan nasional, bukan masalah ekonomi yang juga saya tekuni selama belajar di Sorbonne, Prancis. Pertanyaan itu tak sulit dijawab karena selama studi saya juga menyiapkan konsep pembangunan pendidikan dan kebudayaan serta pembangunan pertahanan dan keamanan nasional. Sultan juga menanyakan konsep pengembangan idealisme, membentuk manusia idealis. Menurut Sultan, kita memerlukan banyak calon pemimpin yang idealis, justru karena Tanah Air kita kaya raya.

Ternyata selain nasionalis, Sultan juga arif, bijak, dan tegas. Ketika dinobatkan sebagai sultan di zaman kolonial (1940), Sultan mengatakan dalam pidato, "Al ben ik Westers opgevoed, ik ben en blijf Javaan" (meski berpendidikan Barat, saya adalah orang Jawa dan akan tetap Jawa). Saat itu, pernyataan ini dianggap "revolusioner" .

Sultan juga yang mewakili RI menerima kedaulatan dari Wakil Kerajaan Belanda di Jakarta (Desember 1949). Sultan beberapa kali dipercaya menjabat Menteri Pertahanan setelah penyerahan kedaulatan. Sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat (1949-1950)- saat keamanan dan ketertiban amat kacau-Sultan berulang kali pulang balik Jakarta-Yogya, menyetir mobil sendiri, tanpa ajudan atau voorrijder. Dalam salah satu perjalanannya, Sultan pernah memboncengkan perempuan tua yang terseok-seok menggendong dagangannya hingga depan Pasar Beringharjo. Sultan tak mengungkap jati dirinya.

Keistimewaan Yogyakarta

Sesudah Belanda angkat kaki, para pejuang yang selamat sepakat, negara-bangsa memberikan pengakuan yang tulus atas sikap patriotik Sultan dan warga Yogya di masa perjuangan. Pengakuan ini berupa pemberian status keistimewaan bagi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman. Keistimewaan DIY memang dikaitkan kedudukan Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Artinya, secara implisit, siapa pun yang menjadi sultan dan paku alam, jabatan gubernur dan wakil gubernur adalah melekat.

Jadi, aneh jika generasi reformis kini justru meragukan kebenaran hakikat pertimbangan para tokoh pejuang 45 dalam memutuskan keistimewaan DIY. Itu tidak hanya kebenaran thok, tetapi kebenaran bernilai sejarah perjuangan, bukan untuk mengukuhkan monarki absolut di Yogya. Meski di bawah raja, pemerintahan daerah ini berjalan demokratis.Jangan anggap para tokoh tidak tahu soal ketatanegaraan. Mereka tidak kalah terdidik, tidak kurang cerdas dan patriotik daripada para tokoh reformis sekarang. Maka hargailah keputusan mereka. Alih- alih mempertanyakan, sekali lagi tegaskan secara positif keputusan itu. Yang dipertaruhkan bukan hanya martabat Sultan dan Paku Alam dan seluruh warga, tetapi juga intellectual dignity dan political credibility dari pejuang kemerdekaan 45 yang telah memutuskan itu.

Pembentukan DIY bukan hanya masalah hukum dan UU. Ia adalah keputusan bersejarah yang jelas rasionale-nya dalam perjalanan sejarah. Kalaupun pembentukan itu hendak dijadikan masalah hukum / UU, sebagai produk buatan manusia, ia harus dibuat bersendikan tidak hanya akal, tetapi juga akal, budi, dan kearifan. Hanya orang yang berbudi yang dapat menghargai budi luhur orang lain.

Daoed Joesoef

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983);

Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Tidak ada komentar: